Jumat, 04 Mei 2012

Snow Outside, Dark Inside


         Judul artikel ini, aku ambil dari jaringan sosial seseorang. Ya, ‘Snow Outside, Dark Inside’, mungkin seperti inilah pandangan orang tersebut selama ini padaku. Pikiranku masih tidak bisa berjalan logis –apalagi hatiku yang memang tidak mempunyai otak–  saat aku menduga bahwa orang yang paling dekat dan (seharusnya) menjadi sandaranku beranggapan demikian tentangku. Ah, memang benar, ekspektasiku terlalu tinggi.
          Aku kaku saat kamu bertanya, “Apa masalahnya, ungkapkan langsung kepadaku”. Kamu tidak tau bagaimana sulitnya mengungkapkan apa yang aku rasa kepadamu. Terlalu banyak yang sudah aku pendam darimu, sampai aku bingung dari mana harus aku mulai. Dan disinilah bodohnya aku, aku hanya diam. Pikiranku menerawang jauh ke hari yang lalu, teringat lagi bagaimana rasanya. Aku terlalu banyak berpikir konsekuensi dan resiko yang akan aku dapat bila aku mengungkapkannya kepadamu. Sejujurnya aku takut, apa yang akan kamu lakukan nanti mengingat kamu tipikal orang yang sulit ditebak. Aku dijebak oleh buah simalakama.
          Akhirnya aku memilih mengendalikan perasaanku sendiri, yah aku mencari tempat untuk mendapatkan solusi, menemui teman-temanku. Memang aku tidak selalu mendapatkan solusi untuk keluar dari lingkar ketidaknyamanan hati, tapi aku selalu mendapatkan kekuatan untuk bisa berdiri sendiri lagi. Ya, ‘Snow Outside’, aku tidak menyalahkanmu atas pernyataan ini. Just snow outside. Kita selalu mempunyai alasan untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang besar, sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak terduga, apapun itu. Dan kamu juga boleh mengatakan bahwa ini adalah pembelaanku, kamu juga boleh mengatakan aku hanya membela diri supaya semua orang menganggapku bagai bidadari. Dan kamu juga boleh mengatakan aku tidak mau dianggap sebagai peran antagonis, kamu juga boleh mengatakan aku selalu membuat orang-orang menduga kamulah antagonis. Kamu boleh. Kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau. Kamu selalu boleh.
          “Kalau aku sih gak mau cerita ke orang-orang, kesian, nanti mereka jadi berpikir jelek tentang orang yang aku ceritakan”. Aku terhentak. Kamu benar, kamu benar aku jahat. Aku tidak sampai berpikir mereka akan menganggapmu jelek saat aku menceritakan masalahku untuk mendapatkan solusi, karena aku bercerita kepada orang yang juga mengenalmu dengan baik melebihi aku mengenalmu, kupikir mereka pasti sudah mempunyai sebuah nilai untukmu jauh sebelumnya. Saat itu yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya aku bertahan untuk tidak jatuh (lagi), yang aku pikirkan hanyalah diriku sendiri. Ya, ‘Dark Inside’,aku tidak juga menyalahkanmu atas pernyataan ini. Just dark inside.

Terlalu mahal harga yang harus kita bayar untuk sebuah kesederhanaan seperti dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar