“Maneh islam, lin? (Kamu pemeluk
islam, bukan?)”, tanya seorang anak laki-laki yang ada di kelasku. Saat itu aku
kelas 3 MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah), dan aku biasa menyebutnya sekolah
agama. Aku tidak begitu heran dengan pertanyaan-pertanyaan atau cemoohan mereka
yang menyinggung seputar keyakinan, jelas saja, aku bersekolah formal di sebuah
yayasan Katholik. Selain itu dengan tampang yang kurang mendukung (chinese
face) terang saja mereka tidak percaya. Aku yang kecil dulu mengamuk
sejadi-jadinya saat pulang sekolah agama tasku dirusak. Kalau hanya dengan
perkataan, aku masih bisa membalas, tapi lain cerita kalau sudah merusak
benda-benda yang aku bawa, mau balas gimana, ukuran badanku kecil, sementara
mereka segerombolan bocah yang berukuran lebih besar dariku. I just go home,
and I quit.
Kejadian-kejadian yang tidak
berkenan seperti itu memang susah untuk dilupakan begitu saja. Rasa sakitnya
saat ditolak oleh kelompok sendiri, membuat perasaanku tak menentu saat menggunakan
kerudung. Apalagi kejadian itu terjadi rutin setiap aku menggunakannya. Padahal itu hanya kerjaan anak kecil yang
pikirannya pendek dan bicara sekenanya. Kalau aku sudah jenuh dengan keadaan
seperti itu, aku malah jadi pusing sendiri, apa aku harus menyalahkan mereka
dengan kefanatikannya? Atau menyalahkan ibuku yang menikah dengan pria
keturunan tionghoa seperti ayahku? Hahaha konyol. Cara satu-satunya ya berdamai
dengan keadaan seperti ini.
Masa SMA menjadi penemuan titik
tenangku dalam masalah ini, tidak ada lagi cemoohan, yang ada hanya
keterkejutan saja. Aku senang keterkejutan mereka menerimaku dengan tangan
terbuka. Di SMA aku benar-benar menemukan diriku yang seharusnya tanpa
pemojokan dan paksaan. Sekarang kerudung untukku tidak lagi/hanya menjadi sebuah tata tertib tertulis di
sekolah. Yaah walaupun aku masih ‘berantakan’ dalam mengenakannya, apalagi
kalau sudah berkumpul dengan keluarga besar ayahku yang notabenenya non muslim,
aku seperti canggung sendiri. Padahal apa salahnya ya? Hahaha.
Seiring waktu berjalan, aku
ingin mendapatkan kekonsistenananku. Bukan hanya mengenakannya saja, tetapi
juga mengaplikasikan ‘sifatnya’. Tidak jarang aku menemukan wanita berkerudung
yang rambutnya dengan sengaja digerai menawan (apa masih layak aku sebut wanita
berkerudung ya?), juga wanita berkerudung yang ‘berjalan dengan om-om’. Menurutku
mereka orang-orang yang menemukan keterpaksaan di dalam kerudungnya, kasihan.
Sering juga aku melihat wanita yang mengenakan kerudung hingga ke lutut, bahkan
sampai memakai sarung tangan. Sepertinya mereka menemukan prinsip hidup di
balik kerudungnya. Dan untukku, si ‘chinesse fece’ ini, aku menemukan kedamaian
di dalam kerudungku. Thank you, Allah, finally You guide me to the who I should
be.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar