Jumat, 04 Mei 2012

Philosophy of Veil


         “Maneh islam, lin? (Kamu pemeluk islam, bukan?)”, tanya seorang anak laki-laki yang ada di kelasku. Saat itu aku kelas 3 MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah), dan aku biasa menyebutnya sekolah agama. Aku tidak begitu heran dengan pertanyaan-pertanyaan atau cemoohan mereka yang menyinggung seputar keyakinan, jelas saja, aku bersekolah formal di sebuah yayasan Katholik. Selain itu dengan tampang yang kurang mendukung (chinese face) terang saja mereka tidak percaya. Aku yang kecil dulu mengamuk sejadi-jadinya saat pulang sekolah agama tasku dirusak. Kalau hanya dengan perkataan, aku masih bisa membalas, tapi lain cerita kalau sudah merusak benda-benda yang aku bawa, mau balas gimana, ukuran badanku kecil, sementara mereka segerombolan bocah yang berukuran lebih besar dariku. I just go home, and I  quit.
          Kejadian-kejadian yang tidak berkenan seperti itu memang susah untuk dilupakan begitu saja. Rasa sakitnya saat ditolak oleh kelompok sendiri, membuat perasaanku tak menentu saat menggunakan kerudung. Apalagi kejadian itu terjadi rutin setiap aku menggunakannya.  Padahal itu hanya kerjaan anak kecil yang pikirannya pendek dan bicara sekenanya. Kalau aku sudah jenuh dengan keadaan seperti itu, aku malah jadi pusing sendiri, apa aku harus menyalahkan mereka dengan kefanatikannya? Atau menyalahkan ibuku yang menikah dengan pria keturunan tionghoa seperti ayahku? Hahaha konyol. Cara satu-satunya ya berdamai dengan keadaan seperti ini.
          Masa SMA menjadi penemuan titik tenangku dalam masalah ini, tidak ada lagi cemoohan, yang ada hanya keterkejutan saja. Aku senang keterkejutan mereka menerimaku dengan tangan terbuka. Di SMA aku benar-benar menemukan diriku yang seharusnya tanpa pemojokan dan paksaan. Sekarang kerudung untukku tidak lagi/hanya  menjadi sebuah tata tertib tertulis di sekolah. Yaah walaupun aku masih ‘berantakan’ dalam mengenakannya, apalagi kalau sudah berkumpul dengan keluarga besar ayahku yang notabenenya non muslim, aku seperti canggung sendiri. Padahal apa salahnya ya? Hahaha.
          Seiring waktu berjalan, aku ingin mendapatkan kekonsistenananku. Bukan hanya mengenakannya saja, tetapi juga mengaplikasikan ‘sifatnya’. Tidak jarang aku menemukan wanita berkerudung yang rambutnya dengan sengaja digerai menawan (apa masih layak aku sebut wanita berkerudung ya?), juga wanita berkerudung yang ‘berjalan dengan om-om’. Menurutku mereka orang-orang yang menemukan keterpaksaan di dalam kerudungnya, kasihan. Sering juga aku melihat wanita yang mengenakan kerudung hingga ke lutut, bahkan sampai memakai sarung tangan. Sepertinya mereka menemukan prinsip hidup di balik kerudungnya. Dan untukku, si ‘chinesse fece’ ini, aku menemukan kedamaian di dalam kerudungku. Thank you, Allah, finally You guide me to the who I should be.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar